Beranda | Artikel
Mengambil Resiko
Rabu, 19 April 2017

Bismillah.

Merupakan sebuah sunnatullah, bahwa kebenaran akan selalu berhadapan dengan kebatilan. Sebagaimana kebenaran memiliki pembela, begitu pula kebatilan tidak sepi dari para penggerak dan penganutnya. Meskipun demikian, kita bisa melihat bahwa pertolongan dan kemenangan dari Allah menjadi janji dan balasan bagi mereka yang berpihak kepada Allah.

Para rasul ‘alaihimus salam merupakan teladan dalam perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di atas muka bumi ini. Mereka berjuang dan berpeluh keringat bahkan bersimbah darah demi mengajak manusia untuk betauhid kepada Allah. Tidak ada satu pun umat melainkan Allah telah utus di tengah mereka seorang pemberi peringatan. Itulah anugerah dari Allah bagi kaum beriman; ketika Allah utus di tengah mereka rasul yang membawa petunjuk dan agama yang benar; yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Dengan ilmu dan amal salih itulah manusia akan terbebas dari berlapis-lapis kegelapan dan hidup dalam cahaya kebenaran.

Allah menyebut al-Qur’an sebagai ruh; karena dengannya hati manusia mengenali kebenaran dan iman. Dengan ilmu al-Qur’an manusia menjadi sadar akan hakikat dan tujuan hidupnya. Dengan ilmu al-Qur’an manusia mengenal mana yang benar dan mana yang salah. Dengan ilmu al-Qur’an manusia mengetahui jalan menuju surga dan jalan yang akan menjerumuskan ke jurang neraka. Karena itulah al-Qur’an akan menjadi hujjah/argumen yang membela atau hujjah/argumen yang menjatuhkan. Pembela bagi mereka yang mengikuti ajarannya, dan pembukti kesalahan bagi mereka yang membangkang dan memilih jalan selain petunjuk ayat-ayat-Nya.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan Kitab ini beberapa kaum, dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengan Kitab ini pula.” (HR. Muslim). Kaum yang dimuliakan adalah yang tunduk dan konsisten dengan ajaran al-Qur’an, sementara kaum yang dihinakan adalah yang membangkang dan menyimpang dari ajaran-ajaran al-Qur’an. Oleh sebab itu tidak ada jalan menuju kebenaran dan kemuliaan melainkan dengan mengikuti bimbingan dan ajaran Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah yang dia ucapkan itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4). Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu, sebagaimana al-Qur’an adalah wahyu. Wajib beriman kepada hadits sebagaimana wajib beriman kepada al-Qur’an.

Tidaklah keluar petunjuk dan ajaran dari lisan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali itu adalah kebenaran dan kebaikan. Oleh sebab itu Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menegaskan, “Barangsiapa menolak/membantah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di tepi jurang kebinasaan.”

Bersamaan dengan itu kita temui di sepanjang zaman orang-orang yang tidak henti-hentinya memusuhi Sunnah/hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang terdepan diantara mereka itu adalah kaum Syi’ah Rafidhah -yang membenci para sahabat- dan juga kaum Liberal dan Pluralis anak cucu binaan madrasah Orientalis masa kini -yang mengagung-agungkan akalnya dan silau dengan peradaban barat-. Oleh sebab itu terjadi pertarungan yang amat dahsyat antara mereka yang tegak membela kebenaran dengan mereka yang bersikukuh di atas penyimpangan. Akan tetapi Allah telah berjanji (yang artinya), “Jika kalian menolong -agama- Allah niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kaki-kaki kalian.” (Muhammad : 7)

Tidaklah mengherankan apabila para ulama terdahulu pun menjuluki para ulama ahli hadits pembela Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjaga-penjaga bumi dan kelompok yang mendapat pertolongan (ath-Tha’ifah al-Manshurah). Sebagian salaf berkata, “Para malaikat adalah penjaga langit, sedangkan para ash-habul hadits adalah penjaga bumi.” Ketika Imam Ahmad ditanya mengenai siapakah yang dimaksud golongan yang diberi pertolongan (ath-Tha’ifah al-Manshurah) maka beliau menjawab, “Apabila mereka itu bukan ahlul hadits, maka aku tidak tahu lagi siapakah mereka itu?” Begitu pula Imam Bukhari menjawab, bahwa yang dimaksud golongan yang ditolong itu adalah ahlul ilmi yaitu para ulama ahli agama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Memahami agama tidak bisa kecuali dengan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan keduanya umat Islam akan selamat dari perpecahan dan penyimpangan. Namun hal itu apabila mereka memahami keduanya dengan cara yang telah diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah itu sendiri yaitu dengan mengikuti cara beragama para sahabat radhiyallahu’anhum

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian yang setelahnya, lalu yang setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini sekaligus manusia terbaik setelah para nabi dan rasul. Mengikuti jalan mereka adalah keselamatan. Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib atasmu untuk mengikuti jejak-jejak orang yang terdahulu (para sahabat) meskipun orang-orang menolakmu. Dan waspadalah kamu dari pendapat akal-akal manusia meskipun mereka berusaha menghias-hiasinya dengan ucapan dan kalimat yang indah.”    

Dengan demikian mau tidak mau orang yang meniti jalan ini akan berhadapan dengan sekian banyak tantangan dan hambatan. Apakah dari orang yang dekat atau dari orang yang jauh. Dari mereka yang kecanduan dengan syirik dan penyimpangan dan dari mereka yang telah menjadikan agamanya sebagai bahan ejekan dan permainan. Inilah ujian keimanan dan kancah pertempuran antara kebenaran dan kebatilan.

Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan begitu saja mengatakan ‘Kami beriman’ lantas mereka tidak diberikan ujian/cobaan? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, agar Allah benar-benar mengetahui siapakah orang yang jujur dan siapa orang yang dusta.” (al-‘Ankabut : 2-3)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan semata. Akan tetapi hakikat iman itu adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.”

Sebagian ulama berkata, “Wajib atasmu untuk mengikuti jalan kebenaran, dan janganlah merasa kesepian dengan sedikitnya orang yang berjalan di atasnya. Dan jauhilah olehmu jalan-jalan kebatilan, dan janganlah kamu gentar karena banyaknya orang yang binasa.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi terasing seperti ketika ia datang. Oleh sebab itu beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengambil-resiko/